Rabu, 22 Mei 2013

GIE, Sang Demonstran Idealis

GIE. Judul yang teramat pendek untuk sebuah film, cuma tiga huruf saja namun tetap membekas dalam ingatan saya, dan mungkin juga pada mereka yang sempat menyaksikan film tersebut. Mungkin saya termasuk orang yang terlambat menonton film tersebut. Sebenarnya saya pernah menyaksikan film itu diputar di salah satu stasiun televisi swasta (lupa TV apa), tapi saat itu saya masih terlalu muda untuk memahami jalan ceritanya. Setelah saya cukup umur (tua, maksudnya), saya kembali menonton film tersebut dan akhirnuya mampu sedikit meresapinya. Tapi sebelumnya, saya ingin cerita tentang awal mulanya saya nemu film ini. Saat itu saya tengah mencari video pembacaan puisi Gus Mus (K.H. A. Mustofa Bisri, Rembang) di Youtube, namun tanpa sengaja saya melihat video Soe Hok Gie (Puisi Terakhir). Karena penasaran, saya download video itu. Ternyata sangat menyentuh kalbu (puitis sedikit, enggak apa-apa lah).Akhirnya, saya download film GIE, dan ternyata filmnya awesome banget (khekhe). Filmnya bisa dilihat di youtube, lewat sini.



Poster Film GIE (2005)




Film tersebut dibuat berdasarkan catatan harian Gie yang telah dibukukan dengan judul Catatan Seorang Demonstran (1983). Film ini disutradarai oleh Riri Riza dan diperankan Nicholas Saputra sebagai Soe Hok Gie. Berlatar kekisruhan politik sekitar akhir tahun '50-an hingga awal tahun '60-an, yang diwarnai tarik-menarik kekuasaan antara tiga Soeklarno, militer, dan PKI. Gie, atau nama lengkapnya Soe Hok Gie, tumbuh dalam arus konflik dingin tersebut. Hal ini membuatnya tumbuh menjadi seorang pemberontak idealis yang bercita-cita menumbangkan kesewenang-wenangan penguasa (siapapun dia, bahkan guru yang tidak adil di sekolahnya) dan menegakkan keadilan di Indonesia.



Gie dan kawan-kawan di puncak Gunung Pangrango (1967)

   

Gie, atau nama lengkapnya Soe Hok Gie (lahir di Djakarta, 17 Desember 1942 – meninggal di Gunung Semeru, 16 Desember 1969), anak keempat dari lima bersaudara keluarga Soe Lie Piet (Salam Sutrawan). Dia adik kandung Arief Budiman atau Soe Hok Djin, dosen Universitas Kristen Satya Wacana yang juga dikenal vokal dan sekarang berdomisili di Australia. Gie sejak mudanya telah dikenal sebagai seorang pemberontak. Di kelasnya, dia sering terlibat 'bentrok' dengan gurunya hanya karena dia disalahkan dalam ulangan, padahal dia merasa jawabannya itu benar. Buntutnya, saat penerimaan rapor dia disuruh mengulang lagi. Karena dendam, dia mengajak temannya, Tan Tjin Han (tokoh fiktif dalam film yang terinspirasi dari dua teman Gie yang asli, Djin Hok dan Effendi), untuk memberi pelajaran pada gurunya. Dia berkata, 
"Guru yang tak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan Dewa dan selalu benar, dan murid bukan kerbau." 
Tapi dia mengurungkan niatnya setelah melihat gurunya tersebut disambut anak-anaknya yang masih kecil dan mereka ternyata adalah keluarga yang kekurangan.


Saat kuliah di Fakultas Sastra UI, Gie semakin 'keras'. Dia rajin menulis kritik-kritik kepada pemerintah yang sering dimuat di beberapa surat kabar ternama, seperti Kompas, Harian Kami, Sinar Harapan, Mahasiswa Indonesia, dan Indonesia Raya. Sekitar 35 karya artikelnya (kira-kira sepertiga dari seluruh karyanya) selama rentang waktu tiga tahun Orde Baru, sudah dibukukan dan diterbitkan dengan judul Zaman Peralihan (Bentang, 1995). Juga skripsi sarjana mudanya perihal Sarekat Islam Semarang, tahun 1999 diterbitkan Yayasan Bentang dengan judul Di Bawah Lentera Merah. Sebelumnya, skripsi S1-nya yang mengulas soal pemberontakan PKI di Madiun, juga sudah dibukukan dengan judul Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan (Bentang, 1997).


Catatan Seorang Demonstran (Sampul Edisi 2005)
Catatan Seorang Demonstran (Sampul Awal)




(1995)
Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan

Zaman Peralihan
Di Bawah Lentera Merah



Pada 15 Desember 1969, Soe Hok Gie bersama kawan-kawannya Herman Lantang, Abdul Rahman, Idhan Lubis, Aristides Katoppo, Rudy Badil, Freddy Lasut, Anton Wiyana berangkat menuju Puncak Semeru melalui kawasan Tengger. Soe Hok Gie ingin bisa merayakan ulang tahunnya yang ke 27 di atap tertinggi Pulau Jawa tersebut. Tanggal 16 Desember, di tengah angin kencang di ketinggian 3.676 meter dpl, Hok Gie, Idhan, Rahman terserang gas beracun. Hok Gie dan Idhan berada dalam posisi yang tidak menguntungkan dan nyawa mereka tidak sempat tertolong. Gie sang demonstran idealis akhirnya menutup mata di Puncak Semeru tepat sehari sebelum ulang tahunnya yang ke-27 dalam pangkuan salah satu sahabat karibnya, Herman Lantang (pas ngetik bagian ini, saya sempat merinding disko).


Perjalanan hidup Gie yang idealis namun terpinggirkan ini menyadarkan kita, bahwa untuk mencapai suatu perubahan yang lebih baik harus ada hal yang dikorbankan. Bisa harta, teman, kehidupan, bahkan diri kita sendiri. Dalam film dikisahkan bahwa beberapa teman Gie sering mempertanyakan, "Untuk apa semua perlawanan ini?", dan Gie menjawab dengan tegas, 
"Lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan." 
Teman Gie ada yang tertangkap karena menjadi anggota PKI (dalam kehidupan nyata dia adalah Effendi sedangkan dalam film Tan Tjin Han), dia juga seperti 'diasingkan' dalam lingkungan kampus karena mengkritik alma mater-nya tersebut.


Salah seorang teman Gie dari Amerika pernah menulis untuknya, 
“Gie seorang intelektual yang bebas adalah seorang pejuang yang sendirian, selalu. Mula-mula, kau membantu menggulingkan suatu kekuasaan yang korup untuk menegakkan kekuasaan lain yang lebih bersih. Tapi sesudah kekuasaan baru ini berkuasa, orang seperti kau akan terasing lagi dan akan terlempar keluar dari sistem kekuasaan. Ini akan terjadi terus-menerus. Bersedialah menerima nasib ini, kalau kau mau bertahan sebagai seorang intelektual yang merdeka: sendirian, kesepian, penderitaan”. 
Surat ini dia tunjukkan kepada kakaknya, Arif Budiman. Dan Gie tampaknya telah siap menerima semua konsekuensi dari perlawannya itu. Dalam Catatan Seorang Demonstran, Gie menulis, 
Dan seorang pahlawan adalah seorang yang mengundurkan diri untuk dilupakan seperti kita melupakan yang mati untuk revolusi."

Kira-kira apa yang akan dilakukan Gie sekiranya ia masih hidup sampai saat ini, kalau melihat kondisi negeri yang semrawut ini? Ah, sudahlah, tak usah kita berandai-andai, lebih baik kita berusaha semampu kita, mencontoh semangat perubahan Gie, semangatnya memegang terguh prinsip-prinsip dan idealismenya tanpa tergoyahkan apapun. Semoga muncul Gie, Gie, berikutnya yang selalu melawan kesewenang-wenangan dan ketidakadilan. Semoga. 




Oh iya, gara-gara hobi Gie yang suka naik gunung, saya jadi kepikiran untuk naik gunung (lagi). Ada kata-kata Gie yang bagus banget tentang hobi naik gunungnya, 
“Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami. Kami katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal obyeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung.” 
Selain itu ada juga komentarnya yang lain,
Now I see the secret of the making of the best person. It is to grow in the open air and to eat and sleep with the earth.” (Kini aku mengerti bagaimana cara menumbuhkan pribadi yang terbaik. Yaitu dengan tumbuh besar di udara terbuka dan makan serta tidur bersama bumi).
Karena itu, buat para pemuda (dan pemudi), supaya badan tetap sehat, ayo naik gunung, lihat kekayan dan keindahan negeri kita. Jangan sampai nanti diklaim sama negara lain gara-gara kita sebagai pemiliknya yang sah, tidak mau menjaga dan merawatnya.


Kalau yang mau download OST. film GIE bisa klik di sini. Kalau yang mau baca perjalanan hidup Gie, bisa download bukunya Catatan Seorang Demonstran.

Buat penutup, saya cantumkan beberapa puisi Gie favorit saya (selain sebagai tukang protes, Gie juga tukang bikin puisi, lho). Selamat menikmati. Selamat tenggelam dalam dunia Gie. ^__^



MANDALAWANGI – PANGRANGO

Senja ini, ketika matahari turun kedalam jurang-jurangmu
aku datang kembali
ke dalam ribaanmu, dalam sepimu dan dalam dinginmu

walaupun setiap orang berbicara tentang manfaat dan guna
aku bicara padamu tentang cinta dan keindahan
dan aku terima kau dalam keberadaanmu
seperti kau terima daku

aku cinta padamu, Pangrango yang dingin dan sepi
sungaimu adalah nyanyian keabadian tentang tiada
hutanmu adalah misteri segala
cintamu dan cintaku adalah kebisuan semesta


malam itu ketika dingin dan kebisuan menyelimuti Mandalawangi Kau datang kembali
Dan bicara padaku tentang kehampaan semua


“hidup adalah soal keberanian, menghadapi yang tanda tanya “tanpa kita mengerti, tanpa kita bisa menawar
‘terimalah dan hadapilah


dan antara ransel-ransel kosong dan api unggun yang membara
aku terima ini semua
melampaui batas-batas hutanmu, melampaui batas-batas jurangmu


aku cinta padamu Pangrango
karena aku cinta pada keberanian hidup


Jakarta, 19-7-1966


SEBUAH TANYA

“akhirnya semua akan tiba
pada suatu hari yang biasa
pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui
apakah kau masih berbicara selembut dahulu?
memintaku minum susu dan tidur yang lelap?
sambil membenarkan letak leher kemejaku”


(kabut tipis pun turun pelan-pelan di lembah kasih, lembah mendala wangi
kau dan aku tegak berdiri, melihat hutan-hutan yang menjadi suram
meresapi belaian angin yang menjadi dingin)


“apakah kau masih membelaiku semesra dahulu
ketika ku dekap kau, dekaplah lebih mesra, lebih dekat”


(lampu-lampu berkelipan di jakarta yang sepi, kota kita berdua, yang tua dan terlena dalam mimpinya. kau dan aku berbicara. tanpa kata, tanpa suara ketika malam yang basah menyelimuti jakarta kita)

“apakah kau masih akan berkata, kudengar derap jantungmu. kita begitu berbeda dalam semua
kecuali dalam cinta?”


(haripun menjadi malam, kulihat semuanya menjadi muram. wajah2 yang tidak kita kenal berbicara dalam bahasa yang tidak kita mengerti. seperti kabut pagi itu)

“manisku, aku akan jalan terus
membawa kenangan-kenangan dan harapan-harapan
bersama hidup yang begitu biru”


Selasa, 1 April 1969

(Bagian awal puisi di atas dibawakan Nicholas sambil diiringi alunan gitar lagu 'Cahaya Bulan', syahdu banget.)

PESAN

Hari ini aku lihat kembali
Wajah-wajah halus yang keras
Yang berbicara tentang kemerdekaaan
Dan demokrasi
Dan bercita-cita
Menggulingkan tiran

Aku mengenali mereka
yang tanpa tentara
mau berperang melawan diktator
dan yang tanpa uang
mau memberantas korupsi


Kawan-kawan
Kuberikan padamu cintaku
Dan maukah kau berjabat tangan
Selalu dalam hidup ini?


Harian Sinar Harapan, 18 Agustus 1973








ada orang yang menghabiskan waktunya berziarah ke Mekkah
ada orang yang menghabiskan waktunya berjudi di Miraza
tapi aku ingin habiskan waktuku di sisimu sayangku

bicara tentang anjing-anjing kita yang nakal dan lucu
atau tentang bunga-bunga yang manis di lembah mendala wangi


ada serdadu-serdadu Amerika yang mati kena bom di danang
ada bayi-bayi yang mati lapar di Biafra

tapi aku ingin mati di sisimu sayangku
setelah kita bosan hidup dan terus bertanya-tanya
tentang tujuan hidup yang tak satu setanpun tahu


mari, sini sayangku
kalian yang pernah mesra, yang pernah baik dan simpati padaku
tegakklah ke langit atau awan mendung
kita tak pernah menanamkan apa-apa,
kita takkan pernah kehilangan apa-apa”


Selasa, 11 November 1969

(Puisi yang terakhir belum sempat diberi judul oleh Gie. Dalam film, ia menuliskannya dalam surat yang ia tujukan pada Ira, salah seorang sahabatnya yang tampaknya menyukai Gie, dan Gie juga suka padanya. Mengharukan pas dengar suara berat Nicholas mbacain puisi itu diiringi isak tangis Ira.)



end

Dari berbagai sumber.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar