Minggu, 21 Juli 2013

CATATAN 11: MEMBACA YANG TERBACA DAN TAK TERBACA

Selamat puasa, saudara-saudara. Lama tak jumpa. Sebulan terakhir nafsu menulis saya lagi drop banged, gak tau kenapa (padahal lagi galau). Makanya udah lama banget gak bikin catatan di fb dan blog. Pasti pada kangen, ya? (Gakkkk!?)
Ya udah, kalo pada kangen, saya lanjutin deh. Saya punya hobi membaca. Membaca apa saja yang bisa dibaca, tapi biasanya buku2. Mulai dari buku pelajaran, buku komik, buku tulis, sampai buku gambar juga kalo bisa sih takbaca, (sayange gak bisa). Hobi saya dapat waktu TK (Taman Kaplak-kaplak), waktu saya akhirnya bisa membaca. Bapak ibu saya sampai heran, anaknya kok bisa baca (ya iya, lah, wong diajari). Pas pertama itu yang dibaca jelas, majalah anak-anak (gak mungkin baca majalah pria dewasa), kaya Bobo, Aku Anak Soleh (bukan anak Slamet), sampai komik2 Donal Bebek, Paman Gober (jadi nostalgila, nih). Mulai dari saat itu, saya jadi kecanduan membaca. Apa aja saya baca. Gak cuma buku atau majalah, koran takbaca, spanduk takbaca, sampai tulisan di baju orang lewat juga takbaca (lah kuweh).

Membaca memang harus diajarkan sejak kecil. Bagaimana tidak? Kalau sampai besar gak bisa baca kan repot. Namanya buta huruf. Kalau gak bisa lihat, itu buta beneran namanya. Kalau tetangga saya namanya butarjo (laka hubungane). Tapi kayane memang anak jaman sekarang, terutama yang SD-SD, pada lambat membaca. Saya punya murid yang sampe kelas 2 SD masih belum lancar baca, masih ngeja. Itu gak tau apa gurunya gak mau ngajarin, atau gimana. Udah tahu anak belum lancar baca, tetep aja dinaikin ke kelas 2. Orang tuanya juga maklum sama kondisi anaknya. Tapi mungkin gurunyaudah bosen kali, ya, ngajarin tu anak, makanya dinaikin aja deh (wallahu a'lam). Tapi kalo kasuse kaya gitu ya kasihan anaknya juga. Nanti malah kesulitan di kelas2 berikutnya. Mungkin harusnya masuke kelas bulu apa kelas bantam kali, ya (emang petinju?).
Selain anak SD, mungkin para pejabat-pejabat (dan sebagian yang jadi penjahat) di atas (genteng) sana, harus belajar membaca (lagi). Lho, bukannya mereka-mereka yang jadi pejabat, titelnya udah sarjana semua? Gelarnya aja panjang2 (kaya KRL), Prof. Dr. Drs. H. *****, S.Pd., M.Hum, Ph.D, L.c., dll. Tapi ngapain disuruh belajar baca lagi? Sabar, sabar. Belajar bacanya bukan belajar baca ABCD, tapi belajar membaca perasaan dan aspirasi rakyat (plok plok plok). Nah, ini yang rada susah. Kalau membaca ABCD masih gampang, masih keliatan yang dibaca. Tapi kalo membaca perasaan rakyat, harus ada ilmunya sendiri, harus punya hati yang jujur, yang ikhlas mengabdi untuk rakyat (kaya sa........pa kuwe mbuh). Jadi kalo rakyat lagi susah, mereka2 gak pada enak2an pake uang rakyat buat plesir, buat beli sapi, buat bikin WC, buat bikin gedung, dan buat bikin ribut sesama anggota.
Selain membaca perasaan rakyat, ada lagi jenis membaca yang sejenis. Misalnya, membaca raut wajah, membaca bahasa tubuh, dll. Ini termasuk ilmu yang kudunya dipelajari secara khusus. Gak semua orang bisa. Saya aja pernah belajar sedikit tentang ilmu membaca wajah masih belum paham2 (sebenernya cuma mbaca di majalah). Selain itu, ada juga membaca telapak tangan. Na, ini buat yang suka ramal-meramal ya. Membaca nasib, membaca kartu, membaca sawah, eh, itu membajak ding.
Satu lagi model membaca yang diwariskan para pendahulu kita, yaitu membaca tanda-tanda zaman. Kata Pujangga Ranggawarsita, jaman ini adalah jaman edan. Kalau yang gak waspada ya tergilas. Nah, sebagai manusia khalifatullah fil ardhi harus bisa juga membaca tanda-tanda zaman, pertanda alam dari Tuhan. Membaca firasat, membaca pertanda. Membaca model ini harus dengan hati yang bersih. Kalau hati kita kotor, pertanda cuma lewat tanpa makna. Pertandanya bisa berupa mimpi, kejadian alam, tingkah laku hewan, dll. Membaca model ini biasa dentik dengan para dukun (dukun pijet, dukun bayi). Tapi sebenernya setiap orang bisa, kalau saja mereka mau membuka pikiran, membersihkan hati, dan mendekatkan diri pada Tuhan. Kaya bangsa2 waliullah, kaum sufi, mereka mendekatkan diri pada Tuhan dan membersihkan jiwa, hingga akhirnya mereka bisa dan mampu membaca pertanda zaman. Namun, tidak mesti yang mampu membaca itu adalah wali atau sufi, ya. Bisa saja orang biasa macam kita (lu aja kali gue enggak) dapat membaca zaman, asal kita mebuka pikiran, dll.
Ah, lama2 cape juga ngetiknya. Intinya, membaca itu penting karena merupakan awal dari pengetahuan. Membaca tak terbatas membaca yang tertulis, tapi kita juga kalo bisa membaca hal2 yang tak terbaca, yang tak terhurufkan istilahnya. Begitu kira2.
Nanti gampang dilanjut lain waktu, mau nungguin waktu buka puasa dulu, ya. Ibu bikin kolek pisang soalnya.
Selamat puasa. :)
END
(Kamar; Rabu, 11 Juli 2013; menjelang waktu berbuka puasa)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar