Selamat puasa, saudara-saudara. Lama tak jumpa. Sebulan terakhir
nafsu menulis saya lagi drop banged, gak tau kenapa (padahal lagi
galau). Makanya udah lama banget gak bikin catatan di fb dan blog. Pasti
pada kangen, ya? (Gakkkk!?)
Ya udah, kalo pada kangen, saya lanjutin deh. Saya punya hobi
membaca. Membaca apa saja yang bisa dibaca, tapi biasanya buku2. Mulai
dari buku pelajaran, buku komik, buku tulis, sampai buku gambar juga
kalo bisa sih takbaca, (sayange gak bisa). Hobi saya dapat waktu TK
(Taman Kaplak-kaplak), waktu saya akhirnya bisa membaca. Bapak ibu saya
sampai heran, anaknya kok bisa baca (ya iya, lah, wong diajari). Pas
pertama itu yang dibaca jelas, majalah anak-anak (gak mungkin baca
majalah pria dewasa), kaya Bobo, Aku Anak Soleh (bukan anak Slamet),
sampai komik2 Donal Bebek, Paman Gober (jadi nostalgila, nih). Mulai
dari saat itu, saya jadi kecanduan membaca. Apa aja saya baca. Gak cuma
buku atau majalah, koran takbaca, spanduk takbaca, sampai tulisan di
baju orang lewat juga takbaca (lah kuweh).
Membaca memang harus diajarkan sejak kecil. Bagaimana tidak?
Kalau sampai besar gak bisa baca kan repot. Namanya buta huruf. Kalau
gak bisa lihat, itu buta beneran namanya. Kalau tetangga saya namanya
butarjo (laka hubungane). Tapi kayane memang anak jaman sekarang,
terutama yang SD-SD, pada lambat membaca. Saya punya murid yang sampe
kelas 2 SD masih belum lancar baca, masih ngeja. Itu gak tau apa gurunya
gak mau ngajarin, atau gimana. Udah tahu anak belum lancar baca, tetep
aja dinaikin ke kelas 2. Orang tuanya juga maklum sama kondisi anaknya.
Tapi mungkin gurunyaudah bosen kali, ya, ngajarin tu anak, makanya
dinaikin aja deh (wallahu a'lam). Tapi kalo kasuse kaya gitu ya kasihan
anaknya juga. Nanti malah kesulitan di kelas2 berikutnya. Mungkin
harusnya masuke kelas bulu apa kelas bantam kali, ya (emang petinju?).
Selain anak SD, mungkin para pejabat-pejabat (dan sebagian yang
jadi penjahat) di atas (genteng) sana, harus belajar membaca (lagi).
Lho, bukannya mereka-mereka yang jadi pejabat, titelnya udah sarjana
semua? Gelarnya aja panjang2 (kaya KRL), Prof. Dr. Drs. H. *****, S.Pd.,
M.Hum, Ph.D, L.c., dll. Tapi ngapain disuruh belajar baca lagi? Sabar,
sabar. Belajar bacanya bukan belajar baca ABCD, tapi belajar membaca
perasaan dan aspirasi rakyat (plok plok plok). Nah, ini yang rada susah.
Kalau membaca ABCD masih gampang, masih keliatan yang dibaca. Tapi kalo
membaca perasaan rakyat, harus ada ilmunya sendiri, harus punya hati
yang jujur, yang ikhlas mengabdi untuk rakyat (kaya sa........pa kuwe
mbuh). Jadi kalo rakyat lagi susah, mereka2 gak pada enak2an pake uang
rakyat buat plesir, buat beli sapi, buat bikin WC, buat bikin gedung,
dan buat bikin ribut sesama anggota.
Selain membaca perasaan rakyat, ada lagi jenis membaca yang
sejenis. Misalnya, membaca raut wajah, membaca bahasa tubuh, dll. Ini
termasuk ilmu yang kudunya dipelajari secara khusus. Gak semua orang
bisa. Saya aja pernah belajar sedikit tentang ilmu membaca wajah masih
belum paham2 (sebenernya cuma mbaca di majalah). Selain itu, ada juga
membaca telapak tangan. Na, ini buat yang suka ramal-meramal ya. Membaca
nasib, membaca kartu, membaca sawah, eh, itu membajak ding.
Satu lagi model membaca yang diwariskan para pendahulu kita,
yaitu membaca tanda-tanda zaman. Kata Pujangga Ranggawarsita, jaman ini
adalah jaman edan. Kalau yang gak waspada ya tergilas. Nah, sebagai
manusia khalifatullah fil ardhi harus bisa juga membaca tanda-tanda
zaman, pertanda alam dari Tuhan. Membaca firasat, membaca pertanda.
Membaca model ini harus dengan hati yang bersih. Kalau hati kita kotor,
pertanda cuma lewat tanpa makna. Pertandanya bisa berupa mimpi, kejadian
alam, tingkah laku hewan, dll. Membaca model ini biasa dentik dengan
para dukun (dukun pijet, dukun bayi). Tapi sebenernya setiap orang bisa,
kalau saja mereka mau membuka pikiran, membersihkan hati, dan
mendekatkan diri pada Tuhan. Kaya bangsa2 waliullah, kaum sufi, mereka
mendekatkan diri pada Tuhan dan membersihkan jiwa, hingga akhirnya
mereka bisa dan mampu membaca pertanda zaman. Namun, tidak mesti yang
mampu membaca itu adalah wali atau sufi, ya. Bisa saja orang biasa macam
kita (lu aja kali gue enggak) dapat membaca zaman, asal kita mebuka
pikiran, dll.
Ah, lama2 cape juga ngetiknya. Intinya, membaca itu penting
karena merupakan awal dari pengetahuan. Membaca tak terbatas membaca
yang tertulis, tapi kita juga kalo bisa membaca hal2 yang tak terbaca,
yang tak terhurufkan istilahnya. Begitu kira2.
Nanti gampang dilanjut lain waktu, mau nungguin waktu buka puasa dulu, ya. Ibu bikin kolek pisang soalnya.
Selamat puasa. :)
END
(Kamar; Rabu, 11 Juli 2013; menjelang waktu berbuka puasa)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar